Ini 8 tokoh pejuang Aceh lintas generasi yang menurut Tim AcehPlus sangat layak dipertimbangkan sebagai Pahlawan Nasional asal Aceh berikutnya. Simak kisah heroik mereka sampai tuntas.
1. Sultan Malikussaleh
Meurah Silu (namanya sebelum jadi sultan) “diangkat” oleh Nazimuddin al-Kamil sang penggagas Kerajaan Samudera Pasai atas titah Kesultanan Mamluk di Kairo. Meurah Silu diberi gelar Sultan Malik as-Saleh atau Sultan Malikussaleh. Dia berkuasa dari 1267-1297 Masehi, dengan pusat kerajaan di wilayah Pasai (Aceh: Pasè), wilayah Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudera Pasai menjadikan Islam sebagai konstitusi negara, sehingga dapat melakukan Islamisasi secara besar-besaran di wilayah ujung utara Sumatera.
Sultan Malikussaleh menyebarkan Islam selain melalui jalur kekuasaan, juga menggunakan jalur pernikahan. Ia sendiri menikahi Putri Gangga, putri Raja Perlak.
Selain itu, Sultan Malikussaleh membuka kran perdagangan global melalui jalur Selat Malaka. Letaknya yang strategis, kemudian membuat Samudera Pasai terus berkembang menjadi kerajaan maritim dan pusat perdagangan besar. Kecuali itu, Sultan Malikussaleh berhasil menjadikan Kerajaan Samudera Pasai sebagai sentrum penyebaran Islam di Nusantara.
2. Syeikh Abdurrauf As-Singkili
Abdurrauf as-Singkili sempat menimba ilmu bertahun-tahun pada sejumlah ulama di Arab. Karena ilmunya yang luas, ia dipercaya Sultanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M) untuk menjabat Qadhi Malik al-‘Adil–mufti Kerajaan Aceh Darussalam yang bertanggung jawab urusan keagamaan.
Ulama pertama yang memperkenalkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ini terkenal juga dengan nama Teungku Syiah Kuala, terutama setelah ia mendirikan dayah di daerah Syiah Kuala, Banda Aceh. Syeikh Abdurrauf As-Singkili memiliki lebih dari 30 karya tulis.
Karyanya Tarjuman Al-Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama di Indonesia yang berbahasa Melayu. Kitab tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu.
Juga menjadi “karya pusaka” berharga bagi telaah tafsir Al Quran dan memajukan pemahaman tentang ajaran-ajaran Islam. Teungku Syiah Kuala juga dikenal sebagai gurunya para ulama di Nusantara. Beliau meninggal dunia pada tahun 1693 M. Namanya ditabalkan pada Universitas Syiah Kuala.
3. Tgk Chik Pante Kulu
Ulama besar Aceh terkenal atas jasanya menciptakan karya sastra fenomenal Hikayat Prang Sabi. Syair-syair berisi ajakan untuk jihad fi sabilillah. Tgk Chik Pante Kulu mengarang Hikayat Prang Sabi dalam perjalanan pulang dari menuntut ilmu di Arab. Dalam kapal, ia menuliskan syair-syair yang terinspirasi dari syair-syair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kaum muslimin pada zaman Rasulullah.
Setiba di Aceh, ia langsung menjumpai Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman yang sedang memimpin perang jihad rakyat Aceh melawan Belanda.
Sejak dari sinilah, Hikayat Prang Sabi kemudian dibacakan untuk pejuang dan masyarakat Aceh.
Pejuang Aceh pun bagai dirasuki kekuatan gaib untuk lekas pergi berperang, sehingga membuat serdadu Belanda kocar-kacir. Hikayat Prang Sabi kemudian diakui sebagai salah satu puisi terhebat di dunia dalam membangkitkan semangat juang rakyat melawan penjajahan.
4. Panglima T Nyak Makam
Ia sangat piawai dalam kepemimpinan dan strategi militer. Atas prestasinya, pada tahun 1885, ia diangkat sebagai “Mudabbirusyarqiah” yaitu penegak kedaulatan Aceh di bagian Timur dan sekaligus Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur.
Selama sekitar 40 tahun memimpin perlawanan rakyat Aceh melawan kompeni Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mampu mengobrak-abrik upaya Belanda menguasai Aceh. Ia menjadi panglima yang sangat diburu Belanda.
Hingga akhirnya pada 21 Juli 1896 malam, ribuan marsose Belanda menangkap Nyak Makam yang sedang terbaring sakit parah di rumahnya.
Saking bencinya, panglima perang Belanda saat itu memenggal kepala Nyak Makam untuk dipertontonkan ke warga Aceh. Jasad Nyak Makam dikebumikan tanpa kepala di Lamnga dan keberadaan kepalanya sampai kini belum diketahui secara pasti.
5. Panglima Raja Lelo
Nama asli dari Panglimo Rajo Lelo IV adalah Ibnu Wantaser, lahir di Pung Besei, Kampung Sapik, Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan, tahun 1864. Ia keturunan dari Wannamid bin Wan Andun dan Sanniati binti Barlam. Dia diangkat menjadi panglima oleh Raja Kluet Keujruen Mukmin pada 1913, menggantikan abangnya, Abdul Malik (Panglimo Rajo Lelo III). Saat itulah namanya bergelar menjadi Panglimo Rajo Lelo IV.
Panglimo Rajo Lelo IV memimpin warga melawan penjajahan Belanda. Ia seangkatan dengan komandan perang di wilayah Aceh Selatan lainnya, Teuku Raja Angkasah dan Teuku Cut Ali, yang duluan syahid di tangan Belanda.
Ketika Belanda makin menjadi-jadi menjajah warga, Panglimo Rajo Lelo IV dan pasukannya tergerak untuk menghabisi panglima perang Belanda di wilayah itu, yakni Kapten J Paris. Terjadilah peristiwa Perang Kelulum pada 3 April 1926 (20 Ramadhan 1346 H) di Kampung Sapik, Kluet Timur.
Panglimo Rajo Lelo IV bersama 20 pasukannya dengan senjata pedang melawan 23 serdadu Belanda yang dipimpin Kapten J Paris dengan kekuatan senjata api.
Alhasil, Panglimo Rajo Lelo IV berhasil membunuh Kapten J Paris dengan memotong kemaluannya, sebelum ia sendiri syahid di tangan marsose. Kejadian ini kemudian membangkitkan semangat masyarakat Kluet lainnya untuk berjuang mempertahankan daerahnya dari jajahan Belanda.
6. Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan melanjutkan perjuangan bersama tiga putranya dari hasil pernikahan dengan Tuanku Abdul Majid, yaitu Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin.
Ketiga putra Pocut Meurah Intan dengan gagah berani berjuang melawan Belanda. Namun Tuanku Muhammad Batee tertangkap dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, tahun 1900.
Pocut Meurah Intan sendiri tertangkap saat melawan 18 orang marsose sendirian dalam sebuah pertempuran di Pidie pada 11 November 1902.
Ia sempat dipenjara di Kutaraja bersama putranya Tuanku Budiman yang juga ditangkap sebelumnya. Sementara itu Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perlawanan dan pemimpin pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee, hingga ia juga tertangkap.
Pejuang yang dijuluki Singa Betina oleh Belanda ini pun dibuang ke Blora, Pulau Jawa, pada 6 Mei 1905 bersama kedua putranya dan seorang kerabat Sultan. Ia wafat pada 19 September 1937 di Blora dan dimakamkan di sana.
7. Aman Dimot
Pada 25 Mei – 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan militer yang digelar Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dilatih oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia. Lalu pada September 1945, ia bergabung dengan Laskar Barisan Berani Mati. Kemudian bergabung dalam Laskar Mujahidin dan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) pimpinan Tgk Ilyas Leube.
Ketika masa perang agresi Belanda dimulai, Abu Bakar berjuang hingga ke Sumatera Timur.
Pada 30 Juli 1949, di sekitar Tanah Karo, Sumatera Utara, 45 pasukan Bagura dan Mujahidin menyerbu iring-iringan tank dan 25 truk Belanda. Marsoses kalang-kabut.
Ketika kekuatan pasukan Belanda bertambah, Tgk Ilyas Leube memerintah anak buahnya mundur. Tapi Aman Dimot dan dua temannya melanjutkan perjuangan hingga gugur. Akhirnya, ia tinggal sendiri menghadapi marsose.
Belanda bingung karena Abu Bakar dikenal kebal peluru dan senjata tajam. Pun begitu, Aman Dimot ditangkap saat kelelahan.
Belanda menggranat mulutnya lalu menggilas dengan tank hingga ia syahid. Saat itu jasadnya dikebumikan di lokasi itu, sebelum dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.
8. T. Abdul Hamid Azwar
Ia aktif dalam pasukan militer Jepang ketika Indonesia belum merdeka. Pasca kemerdekaan, ia langsung mendirikan Angkatan Perang Indonesia (API) bersama Syamaun Gaharu. API kemudian berubah jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) lalu Tentara Republik Indonesia hingga resmi jadi TNI.
T Abdul Hamid Azwar kemudian menjabat Kepala Staf Divisi V Aceh. Perannya paling fenomenal terjadi pada 26 November 1945 saat ia berhasil menghancurkan 1 batalyon tentara Jepang berjumlah 1.000 orang di Krueng Panjoe. Lalu ia diangkat sebagai Kepala Staf SK 2A Komandan Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi.
Pada 1947, ia mendirikan Central Trading Corporation (CTC) untuk mengusahakan perlengkapan logistik dan senjata tentara Indonesia. Salah satu sumbangannya adalah kapal bernomor registrasi PBB 58 LB kepada ALRI.
T Abdul Hamid juga menyumbang emas untuk pembelian pesawat Avro Anson RI 003 (pesawat ini dibeli sebelum pembelian pesawat Dakota hasil sumbangan orang Aceh).
Di luar itu, ia juga menggagas pendirian Gedung Sarinah Jakarta sebagai pusat perbelanjaan pertama di Indonesia. Ia meninggal pada 7 Oktober 1996 dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir Jakarta.[]