Dayah Darul Ihsan muncul sebagai salah satu dayah terpadu terbesar di Aceh saat ini. Banyak orangtua berlomba untuk menyekolahkan anaknya di dayah yang berlokasi di Siem, Aceh Besar tersebut.
Tapi tahukah #WargaAcehPlus tentang perjalanan panjang dayah warisan Abu Hasan Krueng Kalee ini? Yuk baca postingan ini sampai tuntas.
Berawal Dari Dayah Salafi
(Baca juga postingan terkait: Jalan Panjang Abu Hasan Krueng Kalee Membangun Dayah
Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee ini terletak di Gampong Siem, Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Awalnya hadir sebagai dayah yang eksis di masa kolonial Belanda.
Saat itu Dayah Krueng Kalee menjadi salah dayah salafiah terbesar di Aceh_yaitu dayah yang berpusat pada pengajian agama Islam.
Berkembang Pesat
Sejarah perjalanan Dayah Krueng Kalee melalui dua fase, sebagai dikutip AcehPlus dari catatan Wahyudi dalam Transformasi Dari Salafi Menjadi Terpadu Dayah Darul Ihsan Di Gampong Siem Aceh Besar (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh: 2018).
Pertama dari tahun 1917 – 1925. Dan kedua, antara tahun 1925 – 1942 ketika Abu Hasan kembali dari Yan Kedah Malaysia. Murid pada periode pertama lebih sedikit dibandingkan pada periode kedua.
Dalam kurun 25 tahun (1917-1942), disebutkan, lebih dari 1.000 murid pernah belajar di Dayah Krueng Kalee.
Catatan itu menempatkan Dayah Abu Krueng Kalee mampu bersaing dan sejajar dengan dayah-dayah ternama lainnya di Aceh kala itu, seperti Dayah Tanoh Abee, Dayah Lambirah, Dayah Indrapuri, Dayah Pante Geulima, Dayah Tiro dan Dayah Samalanga.
Melahirkan Banyak Ulama
Selama itu pula, perkembangan pendidikan di tangan Abu Hasan Krueng Kalee mengalami kemajuan pesat dan mencapai masa puncaknya.
Hal itu terbukti dari banyak tokoh ulama lokal dan nasional telah ditempa dari dayah ini.
Para ulama tsb diantaranya Tgk H Mahmud Blang Bladeh, Tgk H Abdul Rasyid Samlakoe Alue Ie Puteh, Tgk H Sulaiman Lhoksukon, Tgk H Yusuf Kruet Lintang, Prof Dr Hasbi As Shiddieqy, Prof Ali Hasjmy dan masih banyak lagi.
Belajar Kitab Imam Syafi’i
Metode ini lebih mengedepankan sistem mendengar, memahami, dan menghafal. Metode tanya jawab cuma dilakukan sesuai keperluan. Beuët (pengajaran) digelar di balè-balè (balai) besar maupun kecil.
Saat itu, Abu Hasan Krueng Kalee hanyalah mengajar santri di kelas tinggi dan para guru, sementara murid lainnya belajar dengan teungku-teungku rangkang.
Dayah Krueng Kalee mengajarkan kitab-kitab dari Mazhab Syafi’i seperti Kitab Matan Taqrib hingga al-Umm.
Menjadi Dayah Darul Ihsan
Masa keemasan Dayah Krueng Kalee memudar seiring wafatnya Abu Hasan Krueng Kalee pada Jumat 15 Januari 1973.
Sepeninggalnya, secara perlahan Dayah Krueng Kalee mengalami kemunduran. Ini disebabkan tidak ada penerus yang dapat melanjutkan estafet kepemimpinan.
Baru 26 tahun kemudian, tepatnya pada 15 Muharram 1420 H/1 Mei 1999, Dayah Abu Krueng Kalee dipugar kembali oleh anak beliau, Tgk H Ghazali Hasan.
Beliau membangun kembali dayah warisan Abu Hasan Krueng Kalee itu bersama keponakannya Tgk H Waisul Qarani Aly, Tgk H Muhammad Faisal M Ag, dan Tgk H Musannif Sanusi SE. Namanya pun dipermak menjadi Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.
Salafi ke Modern
Dalam sistem pembelajarannya, dayah di bawah naungan Yayasan Darul Ihsan Krueng Kalee ini menggabungkan metode salafi dengan modern.
Tidak hanya belajar agama, santri Dayah Darul Ihsan juga belajar pengetahuan umum dan menyesuaikan dengan situasi kekinian.
Harapannya agar para santri selain mampu menguasai ilmu-ilmu agama dan berakhlak mulia sekaligus mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah.[]