Barisan Fujiwara atau Fujiwara Kikan, dikenal F-Kikan. Ini merupakan organisasi intelijen militer Kekaisaran Jepang yang beroperasi di Asia Tenggara pada masa Perang Asia Timur Raya (Perang Dunia II).
Aceh memang bangsa teuleubèh (pada masanya). Betapa tidak. Demi merdeka dari cengkeraman kolonial kaphé-kaphé Belanda, sekelompok pemuda Aceh kemudian bergabung dengan dinas rahasia militer Jepang itu.
F-Kikan Aceh bersekutu dengan organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), untuk melemahkan kekuasaan Hindia Belanda. Kehadiran agen rahasia ini di Aceh berhasil memberikan warna dalam perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda, meskipun berujung kekecewaan. Begini kisah lengkapnya.
Aceh dalam Pantauan
Rupanya, Jepang sudah mengamati Aceh sejak bertahun-tahun sebelum PD II. Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949 menyebutkan, intelijen Jepang sudah mengumpulkan informasi mengenai Aceh sejak 1920-an.
Caranya, para intel Jepang menyamar sebagai pedagang, pekerja studio foto, penjual kain, dan pemimpin perkebunan di Aceh. Upaya ini sangat berguna ketika Jepang akan menginvasi Indonesia, terutama Sumatera.
Mulanya Orang Aceh di Yan
Jepang yang berhasil merebut Malaysia sejak Desember 1941 dari kekuasaan Inggris, memanfaatkan keberadaan orang Aceh yang bermukim di Malaysia.
Mereka tahu ada “Gampong Aceh” di Yan, Kedah, pemukiman perantau Aceh yang melarikan diri dari perang Aceh melawan Belanda.
Orang-orang Aceh datang ke Yan sejak 1870-an. Said Abu Bakar, salah seorang Aceh sekaligus guru agama di madrasah di Kampung Yan, Kedah. Ia kelahiran Kutaraja, 1915. Dari sosok inilah, F-Kikan Aceh bermula.
Pembentukan F-Kikan Aceh
Nino Oktorino dalam bukunya Konflik Bersejarah – Dalam Cengkeraman Dai Nippon (2013) menyebutkan, seorang agen Fujiwara, Masubuchi Sahei, yang sebelumnya menyamar sebagai pengusaha perkebunan karet di Siak, ditugaskan membentuk unit kecil agen F-Kikan Aceh.
Masubuchi merekrut Said Abu Bakar dan menjadikannya Kepala F-Kikan Aceh. Agen F-Kikan Aceh berikutnya adalah Mohammad Saleh yang kemudian bertugas sebagai juru propaganda F-Kikan selama penyerbuan Jepang ke Sumatera Utara.
Said Abu Bakar bersama beberapa anggota Pemuda PUSA berangkat ke Penang pada 31 Desember 1941. Mereka menemui Komandan F-Kikan Mayor Fujiwara di Taiping, Penang.
Fujiwara pun menugaskan Said Abu Bakar merekrut sejumlah perantau asal Sumatera terutama Aceh untuk bergabung dalam Kolone Kelima F-Kikan (Vijfde Kolone). Mereka kemudian mengikuti kursus kilat agen rahasia di Ipoh, di bawah bimbingan Masubuchi Sahei.
F-Kikan Beroperasi di Aceh
Mereka diantar perahu militer Jepang dari Selangor dan dilepaskan dekat Sungai Sembilan Asahan dan Bagan Siapi-api, Medan. Namun mereka ditangkap Polisi Sektor Barat Medan setiba di darat.
Tak hilang akal. Said Abu Bakar dari dalam sel mengirim surat bersandi ke Ali Hasjmy aktivis muda PUSA dan TH Zainul Abidin rekan perjuangan Said di Samalanga.
Surat itu sampai ke tangan Tgk A Wahab Seulimum yang kemudian segera mengutus Ahmad Abdullah dan Zainul Abidin untuk menemui Said Abu Bakar di Medan. Ahmad Abdullah berhasil menerima pesan Jepang yang dibawa Said. (Said Abu Bakar ddk. beberapa hari kemudian dibebaskan dari penjara).
Pesan Said Abu Bakar
Pesan dari Said sampai ke tangan Teuku Nyak Arief, Teungku Daud Beureueh dan Teungku A Wahab Seulimeum. Jepang meminta pihak Aceh untuk membentuk Barisan Fujiwara di Aceh, dengan tujuan untuk sabotase, perang urat saraf dan perlawanan fisik jika memungkinkan.
Jepang berdalih ingin membebaskan Asia dari imperialisme dan kapitalisme Barat, karena itu meminta Aceh memudahkan Jepang masuk ke Aceh.
Di Kutaraja, tokoh Aceh ini menggelar duek pakat rahasia. Mereka sepakat menjalani “propaganda Jepang” yakni menggerakkan kolone kelima F-Kikan di Aceh.
Ide itu sepaket dengan inisiatif PUSA/Pemuda PUSA yang membangun gerakan perlawanan di seluruh Aceh. Gerakan yang berpusat di Seulimum ini dinamai “Gerakan Fajar” di bawah pimpinan A. Hasjmy dan Ahmad Abdullah. Kedua “Barisan F” ini kemudian bekerjasama dengan sama-sama memakai ban bertuliskan huruf “F” di lengan baju.
Pertemuan ini menjadi cikal-bakal dari pelaksanaan rapat umum di Seulimum pada 23 Februari 1942. Rapat ini mengobarkan semangat syahid dalam mengusir penjajah Belanda dengan menyerang kamp-kamp marsose Belanda di Aceh Besar.
Geulét Asèë, Geupeutamöng Bui
Pada malam 11 Maret 1942, Barisan F berhasil merebut Kutaraja dari Belanda. Dengan demikian, ketika keesokannya pasukan Jepang mendarat di Kutaraja, tak ada kontak tembak dan tak satupun tentara Jepang cendera. Secara resmi, pasukan dari Negeri Sakura ini menduduki Aceh per 12 Maret 1942 yang masuk via Sabang dan Krueng Raya.
Nino Oktorino dalam Seri Nusantara Membara – Invasi ke Sumatra (2019) menuliskan, usai merebut bekas wilayah kekuasaan kolonial, Jepang baru bisa mendirikan unit pemerintahan di Sumatera pada Mei 1943.
Ambisi Jepang menggabungkan Sumatera dalam wilayah Kekaisaran Jepang mengubah situasi politik di Sumatera. Pasca pertengahan 1942, penduduk Sumatera hanya menikmati sedikit kebebasan. Bahkan di kemudian hari, pendudukan Jepang yang hanya 3 tahun itu, ternyata lebih kejam dari kolonial.
Di Aceh, kaum bangsawan tetap menjadi penanggung jawab pemerintahan daerah–sesuatu yang mengecewakan kelompok radikal (seperti PUSA) yang sebelumnya telah membantu Jepang.
Tak pelak, kekecewaan ini memunculkan revolusi sosial seumpama Perang Cumbok di Aceh, perang saudara antara kaum ulama dengan uleebalang.
Akhirnya, rakyat Aceh (Sumatra pada umumnya) balik membenci Jepang. “Ka geulét asèë, geupeutamöng bui,” sindir orang Aceh untuk situasi ini, yaitu “habis mengusir anjing malah mendatangkan babi”.[]