Abu Hasan Krueng Kalee salah satu tokoh ulama besar Aceh abad 20. Kontribusinya untuk masyarakat sangat mengakar hingga sekarang.
Ia juga membangun dayah untuk pendidikan umat. Penasaran dengan sejarahnya membangun dayah tersebut? Simak postingan ini sampai habis.
Keturunan Ulama
Abu Hasan Krueng Kalee lahir dengan nama Muhammad Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh ‘Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli al-Asyi.
Ia lahir pada 18 April 1886 M (13 Ra’jab 1303 H) di Gampong Meunasah Ketembu, Sanggeue, Kabupaten Pidie, Aceh.
BACA JUGA POSTINGAN TERKAIT: DAYAH DARUL IHSAN WARISAN ABU HASAN KRUENG KALEEE
Ayahnya, Teungku Muhammad Hanafiyyah, merupakan ulama Aceh saat itu yang dikenal dengan nama Teungku Chik Krueng Kale.
Karena itu, ayahnya menjadi guru pertama Abu Hasan di waktu kecil. Pengalaman belajar dari usia dini tsb sangat berguna ketika Abu Hasan membangun dayah kelak.
Dari Kedah ke Mekkah
Beranjak dewasa, Tgk Muhammad Hasan meudagang hingga ke luar negeri. Ia belajar di Dayah Tgk Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu, di Gampong Yan, Kedah, Malaysia.
Setelah beberapa lama menimba ilmu di Kedah, ia hijrah ke Mekkah. Berguru pada para ulama besar Masjidil Haram. Ia menetap disana sekitar 7 tahun.
Selesai dari Mekah, Abu Hasan tidak langsung pulang ke kampung halamannya.
Abu Hasan terlebih dahulu singgah di Dayah Tgk M Irsyad Ie Leubeu di Yan, Kedah. Mengabdi sebagai guru di sana selama beberapa tahun.
Di dayah ini pula ia berjodoh dengan Nyak Safiah binti Husein, gadis keturunan Aceh yang menetap di Yan.
Mendirikan Dayah Sendiri
Suatu ketika saat mengajar di Yan Kedah, Abu Hasan diminta pamannya, Teungku Muhammad Said, untuk pulang ke Aceh dan mengajar di dayah pimpinan pamannya di Dayah Meunasah Baro.
Merasa sudah cukup siap, Abu Hasan pamit dari dayah pamannya untuk membangun pondok pesantren sendiri.
Abu Hasan pun mendirikan dayah salafi pada tahun 1915 (ada juga yang menyebut tahun 1917) di Gampong Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.
Dayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee.
Pada saat itu, Dayah Abu Hasan Krueng Kalee berkembang pesat bahkan menjadi salah satu dayah salafi terbesar di Aceh pada abad ke-20, meskipun saat itu Aceh berada di bawah bayang-bayang kolonialisme.
Bertahan di Masa Perang
Pada tahun 1942, Jepang datang, Belanda hengkang. Kondisi Aceh semakin tidak kondusif. Tak terkecuali daerah Siem.
Abu Hasan pun harus pindah ke daerah Cot Keu-eueng bersama keluarganya, tepatnya di Gampong Lamseunong. Di sana ia membuka dayah baru.
Sementara itu Dayah di Siem, Krueng Kalee, diamanahkan untuk dikelola oleh sepupu-sepupunya.
Akibatnya, dayah di Krueng Kalee mengalami kemunduran seiring perang melawan pendudukan Jepang.
Murid Abu Hasan yang dulu mengaji di sana pun ikut berjihad fi sabilillah. Meski begitu, Abu Hasan terus berusaha bertahan di tengah kesulitan.
Mengajar Hingga Akhir Hayat
Begitupun ketika kerabatnya Abu Daud Beureueh naik gunung pada masa DI/TII. Banyak kerabat Abu Hasan yang lain ikut bersama Abu Daud Beureueh.
Situasi yang tidak kondusif di masa DI/TII mengancam keberadaan Abu Hasan Krueng Kalee sebagai sosok ulama Aceh kharismatik saat itu.
Pemerintah Aceh pun mengungsikan Abu Hasan ke Keudah, Kutaraja.
Selama menetap di Banda Aceh, beliau mengajar pengajian dan memimpin PERTI, hingga menjelang akhir hayat. Beliau wafat pada Jumat 15 Januari 1973. Al-Fatihah.[]