Lhokseumawe boleh dibilang “mantan kota terkaya di Sumatera” saat masih memiliki cadangan gas alam yang melimpah. Kawasa Lhok dan Aceh Utara dulunya berjaya sehingga dijuluki Kota Petro Dollar. Tapi kini kondisinya bagai permen karet yang dibuang setelah dinikmati manisnya.
Keberadaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun yang resmi beroperasi pada 2018 juga belum mampu membangkitkan perekonomian masyarakat setempat. Yuk simak ulasan lengkapnya.
Kota Metropolitan
Kota Lhokseumawe sempat menjadi kota metropolitan di Aceh. Tahun 1980-1990, kota yang masih bagian dari Kabupaten Aceh Utara ini menjelma sebagai kota kelas satu di Sumatera, mengalahkan Banda Aceh ibukotanya provinsi.
Sektor dagang tumbuh pesat. Apapun yang dijual laris manis. Daya beli masyarakat meningkat drastis. Pusat perbelanjaan Cunda Plaza menjadi ikon Kota Lhokseumawe saat itu. Bahkan kemudian Lhok mendapat julukan Kota Petro Dollar.
Penyebabnya adalah kemakmuran yang dihasilkan dari produksi gas alam cair di Bumi Pasee.
Cadangan Gas Terbesar di Dunia
Alkisah saat Pertamina menggandeng Socony Vacuum Oil Company (kemudian bergabung dengan Exxon tahun 1999 dan membentuk perusahaan Exxonmobil) untuk observasi sumber minyak pada tahun 1968.
Kontrak kerjasama dua perusahaan itu berhasil menemukan ladang cadangan gas alam cair di Arun, Lhokseumawe, pada 18 November 1971 (note: ada juga yang menyebutkan 24 Oktober 1971).
Saat itu, kekayaan LNG Arun diestimasi sebagai cadangan gas alam terbesar di dunia, yang ditaksir mencapai 17,1 triliun kaki kubik.
Temuan gas alam cair itu tentu saja kabar gembira bagi Pemerintah Pusat.
PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) pun didirikan pada 16 Maret 1974; perusahaan non-profit yang sahamnya dimiliki Pertamina 55 persen, ExxonMobil Indonesia Inc. 30 persen, dan Japan Indonesia LNG Co. Ltd (Jilco) 15 persen.
Pemerintah berikutnya membangun Kilang LNG di Desa Blang Lancang, yang terpaut sekitar 15 km dari Kota Lhokseumawe dan 32 km dari lapangan gas Arun. Pembangunan kilang ini melibatkan ribuan pekerja dari dalam negeri dan luar negeri.
Pada 19 September 1978, Presiden Soeharto meresmikan pengoperasian Kilang NGL. BOOM! Lhokseumawe segera menjadi daerah terkaya hingga dijuluki Kota Petro Dollar.
Memicu Glamorisasi
Ya, semenjak diresmikan Kilang NGL, Aceh, melalui Arun, menjadi penyumbang devisa negara terbesar dari ekspor LNG dalam kurun 1980 – 1990, yang dihasilkan diekspor ke sejumlah negara, terutama Jepang.
Bahkan PT Arun NGL disebut sebagai penghasil gas alam cair terbesar di dunia pada medio 1990-an.
Tak hanya itu, adanya aktivitas PT Arun NGL juga merangsang aktivitas industri lainnya yang bergantung pada gas.
Beberapa perusahaan yang menjadi “destinasi impian pencari kerja” lekas bermunculan, diantaranya PT Pupuk Iskandar Muda, PT ASEAN-Aceh Fertilizer, PT Kertas Kraft Aceh, dan Pabrik Gula Cot Girek.
Pertumbuhan industri ini mampu menyerap banyak tenaga kerja sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat Lhok dan sekitarnya.
Kebutuhan masyarakat urban juga hadir, seperti Cunda Plaza, yang diklaim sebagai mal pertama di Aceh. Dari sini, benih glamorisasi warga Lhok dan sekitarnya pun bertumbuh.
Mereka pun menjadi warga Kota Petro Dollar, layaknya masyarakat di belahan bumi lain yang kaya hasil migas.
Kronologi Gas Arun
- Cadangan gas alam cair ditemukan pertama kali di Arun pada 18 November 1971
- Arun memiliki cadangan gas alam mencapai 17,1 triliun kaki kubik.
- PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) didirikan pada 16 Maret 1974
- Kilang Arun diresmikan pada 19 September 1978
- Pengapalan perdana gas Arun dilakukan pada 14 Oktober 1978
- Pengapalan terakhir gas Arun dilakukan pada 15 Oktober 2014
- Selama 36 tahun beroperasi berhasil mengekspor LNG 4.269 kali.
Berakhir Tragis
Banyak pendatang meninggalkan Lhok. Perekonomian masyarakat juga menurun. Puncaknya, ketika PT Arun NGL melakukan pengapalan terakhir pada 15 Oktober 2014.
Pengapalan yang ke-4.269 kali itu melalui kapal kargo Hanjin Pyeong Taek tujuan Korea Selatan menandai berakhirnya ekspor gas dari PT Arun NGL. Berakhir pula kontrak kerja sama Pertamina dengan Exxon dan Jilco.
Ironisnya, setelah hampir 4 dekade hasil bumi Aceh dikeruk, perekonomian Aceh tidak bertumbuh. Malah, makin kesini makin merosot.
Kini harapan dari gas Arun pun sudah tidak jelas. Sayangnya, Pemda tidak menyiapkan “exit strategy”. Ibarat pepatah: untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Maka, wassalam-lah, Kota Petro Dollar.[]