Mè Bu berasal dari Bahasa Aceh yang terdiri dari kata mè artinya membawa dan bu artinya nasi. Singkatnya bisa diartikan “Membawa Nasi”. Dalam praktiknya, kegiatan ini hanya berlaku untuk ibu hamil. Kalau nasi dibawa ke sembarang orang, mungkin tergolong dalam sedekah. Ehehe.
Jadi dalam tradisi Aceh, mè bu merupakan upacara adat pengantaran sejumlah makanan dan buah-buahan yang dilakukan oleh ibunya lintô barô (suami) dan kepada dara barô (menantunya) yang sedang hamil tua, tepatnya pada usia kandungan 7 bulan, sehingga kegiatan ini umumnya dikenal Tujuh Bulanan.
Banyak Nama, Satu Tujuan
Di wilayah Aceh, tradisi ini memiliki banyak istilah penyebutan nama. Masyarakat di sebagian Aceh Utara dan Aceh Timur menyebut dengan acara “Peusijuëk Luëng”. Sebagian orang Aceh Utara lainnya dan masyarakat Bireuen menyebut dengan “Mè Gaténg, Ba Gaténg, Intat Gaténg, hingga Ba Meulinuëm”. Masyarakat Pidie dan Blang Pidie menyebut dengan nama “Keumaweuëh” atau “Bu Meukeuweuëh” Di sebagian daerah lainnya menyebut dengan nama “Intat Bu Rayek” atau “Intat Bu Beuraleuën”. Masyarakat Aceh Besar menyebutnya Mè Bu juga Keumaweuëh.
Nama dan prosesi Mè Bu boleh berbeda di setiap daerah. Namun tujuannya tetap sama yaitu sebagai rasa syukur atas nikmat dan berkah kehamilan pertama yang diberikan oleh Allah kepada pasangan tersebut. Selain itu, agar ibu hamil dan kandungannya mendapatkan kecukupan gizi.
Apa Saja yang Dibawa?
Dalam menyukseskan acara ini, pihak suami membawa makanan khas Aceh, kue, masakan berat, dan buah-buahan. Dalam hidangan kue, biasanya dibawa kue bhôi, keukarah, timphan, wajéb dan meuseukat. Pun begitu, di era sekarang juga dimasukkan kue-kue modern. Untuk masakan beratnya biasanya dihidangkan beberapa jenis masakan khas seperti asam keu-euëng, masak putéh, masak mirah dan banyak lainnya. Dan yang paling penting adalah “bu kulah”, nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk segitiga.
Tata Laksana
Upacara adat ini dimulai dengan peusijuëk (tepung tawar). Lazimnya ritual peusijuëk dalam tradisi Aceh sudah pasti ada breuëh, padé, ôn seunijuëk, bulukat dan tumpoë. Pasutri didudukkan di tempat yang sudah disediakan. Selanjutnya dipeusijuëk oleh orangtua dari pihak lelaki dan perempuan, ibu-ibu perangkat desa, misalnya istri keuchik, istri tgk imum. Saat dipeusijuëk, pasutri dipakaikan sarung. Makna simboliknya adalah sebagai harapan dan doa supaya si ibu sehat dan bayi lahir dengan sempurna. Di beberapa daerah, acara peusijuëk diakhiri dengan memberi sedekah kepada pasangan yang dipeusijuëk tersebut.[]