Good News From Aceh

Sabang; Dulu Gemilang Sekarang “Santai Banget”

sabang

Pulau Weh telah menjadi bagian penting dari perjalanan umat manusia sejak era Sebelum Masehi. Literatur sejarah mencatat, sekitar tahun 301 SM, ahli bumi Yunani Ptolomeus berlayar ke timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut Selat Malaka. Ia menyebut dan mempromosikan pulau itu dengan nama The Golden Island alias Pulau Emas di peta para pelaut. 

Pada abad ke 12 Masehi, pelaut terkenal Sinbad berlayar dari Oman mengarungi rute Maldives, India, Sri Lanka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton. Sinbad berlabuh di sebuah pulau (Pulau Weh) dan menamainya Pulau Emas. Terbaru, Great Britain Publishing menjuluki Kota Sabang dengan istilah The Golden Island dan memasukkannya dalam 501 pulau di dunia yang harus dikunjungi. Mereka tak asal memberi nama. Sabang kemudian betul-betul menjadi “surga emas” bagi warga Sabang dan Indonesia umumnya.

Misi 3G di Sabang

Belanda lah yang pertama kali berhasil memajukan Sabang pada abad 19. Masih ingat pelajaran Sejarah dengan istilah Gold, Glory, dan Gospel? Semboyan ini dicetuskan imperialis Eropa dalam misi menguasai samudera sejak abad 15. Jika Portugis dan Spanyol menyasar ketiga aspek 3G di setiap kawasan koloni baru, maka Belanda lebih memfokuskan pada aspek Gold (ekonomi) dan Glory (kejayaan), tidak terlalu memprioritaskan sisi Gospel (misionaris). Hal ini pula yang Belanda lakukan di Pulau Weh. 

Potensi sumber daya alam dan posisi Sabang yang sangat strategis, memberikan Belanda kesempatan meraup untung sebanyak-banyaknya. Belanda menyatakan perang dengan Aceh pada tahun 1873. Tapi jauh sebelumnya, Kerajaan Belanda sudah punya hubungan baik dengan Kerajaan Aceh juga beberapa kali terlibat pertempuran. Cornelis de Houtman, sebelum tewas di tangan Laksamana Malahayati pada tahun 1599, disebut pernah singgah di Pulau Weh.  

Awal Mula Pelabuhan Bebas 

Belanda menancapkan kukunya di Sabang pada abad ke-19. Sabang awalnya hanya pemukiman para nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Perubahan demi perubahan kemudian berlangsung sejak tahun 1880-an. Tepatnya sejak dibuka pelabuhan bebas oleh Sabang Maatschappij tahun 1895. Depot batubara berdiri. Pelabuhan diperdalam. Daratan dieksplorasi. Demi memanjakan kapal asing singgah.

Pemandangan Sabang pada akhir abad 19 itu adalah kapal-kapal uap (kapal laut yang digerakkan oleh batubara) dari berbagai negara. Mereka singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas lainnya. Maka sebelum Perang Dunia II meletus, Pelabuhan Sabang menjadi pelabuhan penting di Asia Tenggara, lebih penting dari pelabuhan di Singapura. 

Masa Kejayaan Sabang

Sabang mengalami masa kejayaannya sejak 1895 hingga tahun 1942. Pendudukan Jepang membawa mimpi buruk. Pulau Weh jadi target serangan sehingga babak belur. Pelabuhan bebas tutup. Namun Sabang berhasil bangkit kembali. Sejak Pemerintah menetapkan Sabang sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1963 dan dan menjadikannya daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas pada 1970. Pada periode inilah, Sabang dan Banda Aceh, menikmati perdagangan bebas. Barang-barang impor dari Singapura dengan mudahnya masuk via Sabang dan tersebar di Aceh.

Kerja Jengek

Imbas dari adanya pelabuhan bebas di Sabang, terjadi satu fenomena ekonomi di Aceh kala itu. Dalam kurun 1970 – 1980, para pelaku usaha inang-inang dari daerah luar Aceh, melihat peluang bisnis besar di Pelabuhan Sabang dan Pelabuhan Ulee Lheue. Mereka pun merantau ke Aceh untuk melakukan bisnis inang-inang atau dikenal “jenggo ekonomi” alias Jengek. Suatu praktek perdagangan di pelabuhan yang menghindari pungutan pajak. Masyarakat Aceh pun mengikuti trend jengek tersebut. Semua kalangan bisa menjadi jengek. Akibatnya, lahirlah Pasar Jengek di Kota Banda Aceh, yang menjadi pusat distribusi barang-barang impor (legal maupun selundupan) ke hampir seluruh Indonesia.

“Santai Banget”

Masa keemasan Sabang berakhir pada Orde Baru. Pemerintah menutup freeport Sabang tahun 1985. Meskipun kembali jadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sejak tahun 2000, Sabang belum mampu mengembalikan kejayaannya seperti di era kolonial dan pasca kemerdekaan. Badan Pengelolaan Kawasan Sabang (BPKS) yang diamanahkan untuk mengelola Kawasan Sabang, belum mampu berbuat banyak hingga hari ini. 

Sabang, yang dulunya gemilang dan ithèë lèë kaphé, hari ini seperti mati suri. Ditambah lagi pandemi dua tahun ini makin menggerus pendapatan warga Sabang yang sempat melambung dari jasa pariwisata.[]

Exit mobile version