Syekh Abdullah Kan’an atau orang Aceh kemudian mengenalnya Tgk Chik Lampeuneu’eun telah memberikan banyak jasa buat Aceh dan Nusantara. Ulama berasal dari Kanaan, Palestina, yang melaksanakan dakwah islamiyah ke Nusantara bersama ulama dari Kana’an lainnya di sekitar awal abad ke-12.
Syekh Abdullah Kan’an disebut satu rombongan dengan ulama besar Aceh lainnya, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh atau dikenal Tgk Chik Awe Geutah. Mereka mulanya berlabuh di Nicobar dan Andaman, kemudian singgah di Pulau Weh, lalu ke Pulau Ruja (Sumatera). Sebagian menetap di Aceh Besar, sebagian lagi ke daerah Pase.
Syekh Abdullah Kan’an kemudian selama di Aceh, berperan membidani lahirnya Kerajaan Aceh, pertanian lada, hingga pendiri lembaga pendidikan islam.
“Rektor” Zawiyah Cot Kala
Setiba di Aceh, Syekh Abdullah Kan’an memperdalam ilmu agama di Zawiyah Cot Kala. Saat itu, Zawiyah Cot Kala merupakan sekolah Islam pertama di Asia Tenggara yang didirikan Sultan Kerajaan Peureulak pada abad ke-9. Lulus dari Zawiyah Cot Kala, ia diangkat Sultan Peureulak kala itu menjadi Teungku Chik Zawiyah Cot Kala.
Syekh Abdullah Kan’an kemudian punya seorang murid bernama Meurah Johan yang berasal dari Kerajaan Linge (Gayo). Dari sanalah awal perkenalan Syekh Abdullah dengan Meurah Johan, pemuda yang kelak menjadi sultan pertama Kerajaan Aceh.
Zawiyah Cot Kala disebutkan juga telah melahirkan banyak mubaligh. Mereka menjadi duta Islam untuk berdakwah kepada masyarakat Melayu sekitarnya dan di seluruh Nusantara yang masih belum menerima Islam.
Ada Maulana Ishak, Maulana Nur al-Din (Fatahillah) dan Sunan Bonang yang menyebarkan Islam ke Jawa, dan Maulana Abu Bakar ke Melaka. Kelak, Zawiyah Cot Kala menjadi perguruan tinggi islam negeri, yaitu IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.
Pada tahun 576 H /1180 M, Syekh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan mendapat tugas khusus dari Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Shah Johan (1173-1200), penguasan Kerajaan Peureulak.
Syekh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan diberangkatkan dengan armada perang Laskar Syiah Hudam beranggotakan 300 orang mahasantri terlatih dari Zawiyah Cot Kala.
Sultan Peureulak mengirimkan bala bantuan itu atas permintaan Maharaja Indra Sakti pemimpin Kerajaan Hindu Indra Purba untuk melawan ancaman armada perang Tiongkok pimpinan Liang Khie yang sebelumnya menguasai Kerajaan Indra Jaya.
Di Bandar Lamuri, ibu kota Kerajaan Indra Purba, mereka membangun pangkalan militer. Tugas mereka berperang, menyebarkan Islam, dan membangun perekonomian dari budidaya lada.
Seiring dengan kesuksesan mengislamkan masyarakat Lamuri, pasukan Meurah Johan juga sukses memporak-porandakan basis pertahanan angkatan perang Tiongkok dan menawan panglima perang mereka, Nian Nio Lian Khie. Sementara itu, pangkalan militer Laskar Syiah Hudam kemudian dikenal sebagai Sukèë Lhèë Reutôh.
Mufti Pertama Kerajaan Aceh
Setelah penaklukan Kerajaan Seudu (eks Kerajaan Indra Jaya yang dikuasai pasukan Tiongkok), Meurah Johan menikah dengan Puteri Blieng Indra Keusuma, putri dari Maharaja Indra Sakti yang sudah memeluk islam. Ketika ayah mertuanya mangkat, Meurah Johan didapuk sebagai Raja Lamuri.
Tak lama kemudian. Guna menyatukan bekas federasi Kerajaan Lamuri Kuno, diadakan rapat besar. Dihadiri perwakilan Kerajaan Seudu, Indra Purwa, Indra Patra, Indra Puri, Indra Purba dan Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Pasé, Kerajaan Benua, dan Kerajaan Linge.
Dari rapat itulah, semuanya sepakat mendirikan satu kerajaan Islam dengan nama Kerajaan Aceh. Meurah Johan Syah dilantik sebagai Sultan Aceh pertama pada 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 M dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah Zilullah Fil Alam (1205-1234). Syekh Abdullah Kan’an selanjutnya juga dilantik sebagai Mufti Kerajaan Aceh.
Menurut Ali Hasjmy dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Syeikh Abdullah Kan’an seorang ahli pertanian. Beliaulah yang pertama kali membawakan bibit lada ke Aceh.
Syeikh Abdullah Kan’an membudidayakannya selagi bertugas di Lamuri. Dari sini pula ditengarai sumber beredarnya budidaya lada di Nusantara (red: perlu penelitian lebih lanjut, sehingga Syeikh Abdullah Kan’an sangat layak dijuluki Bapak Lada Nusantara.
Syekh Abdullah Kan’an kemudian tinggal kawasan Aceh Besar yang kelak dinamai Lampeuneu’en atau Lamkeuneu’eun. Secara harfiah dalam Bahasa Aceh berarti wilayah Kan’an yang merupakan tempat asal Syekh Abdullah.
Masyarakat Aceh pun mengenalnya dengan sebutan Teungku Chik Lampeuneu’uen. Saat ini Gampong Lampeuneuen termasuk dalam wilayah Kec. Darul Imarah, Aceh Besar.
Selain sebagai Mufti Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah Kan’an juga mendirikan dan memimpin Dayah di Lampeuneu’en. Hingga akhir hayatnya ia terus berjuang mendakwahkan Islam hingga tersebar ke seluruh Aceh bahkan akhirnya ke seluruh Nusantara.
Syekh Abdullah Kan’an dimakamkan di Leu Geu, Kec. Darul Imarah, Aceh Besar.
Makamnya terletak dalam sebuah bangunan berbentuk masjid yang di depannya terdapat sebuah sumur dengan cicin sumurnya terbuat dari tanah berukir. Dalam komplek makam itu juga terdapat makam pengikut dan murid beliau termasuk makam Tgk Chik Kuta Karang.[]