Good News From Aceh

Ta’eun Pandemi masa Perang Aceh dan Cara Menghadapinya

ta'eun

Indonesia pernah mengalami pandemi yang lebih parah pada abad 19 akibat wabah kolera. Penyakit menular ini muncul di akhir abad 18 yang melanda sejumlah negara. Di Eropa, wabah ini dikenal “The Black Death”. Yang lain menyebutnya kolera. Sedangkan orang Aceh menyebutnya dengan Ta’eun atau Ta’eut, Ta’eun Ija Brôk, hingga Ta’eun Wabah Sampôh.

Wabah ta’eun dibawa ke Indonesia oleh tentara kolonial Belanda saat akan melakukan agresi kedua ke Aceh. Usai takluk pada agresi pertama yang dimulai 26 Maret 1873, Belanda berencana menyerang Aceh dengan kekuatan militer yang lebih besar. 

Ta’eun Masuk Aceh

Pemerintah Hindia Belanda selain membawa tentara pribumi dari Eropa, juga mendatangkan pasukan dari beberapa negara jajahan di Afrika. Tercatat, wabah kolera pun mulai menjangkiti Batavia pada Oktober 1873. 

Pada 11 November 1873, Pemerintah Hindia Belanda mengangkut 13.000 personel dalam misi agresi kedua. Terdiri dari 389 perwira, 1.037 pembantu perwira, 8.156 bawahan, 3.280 orang hukuman kerja paksa, dan 243 wanita pembantu. Mereka diangkut dengan 19 kapal. Ternyata, Belanda juga “mengirim ta’eun” bersama personilnya, yang saat itu tidak ada teknologi pendeteksi virus seperti sekarang. Mereka tiba di Aceh pada 9 Desember 1873 dan didaratkan di sekitar Peunayong, setelah 60 orang mati dalam pelayaran akibat kolera.

Kematian Mengerikan Sebelum Perang

Pasukan Belanda kali ini dipimpin Jenderal Van Swieten, menggantikan Jenderal Khler yang tewas pada agresi pertama. Namun jenderal ini harus lebih dulu melihat pasukannya mati sebelum berperang. Setidaknya hingga akhir Desember 1973, sekitar 150 prajurit mati dan 500 orang terpaksa dirawat di tenda-tenda. Bahkan kemudian, 18 perwira dan 200 prajurit dilarikan ke Padang untuk perawatan. 

Di tengah cengkraman pandemi ta’eun, Pemerintah Hindia Belanda tak menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat alias PPKM. Van Swieten pun memerintahkan pasukannya menyerang secara besar-besaran ke istana dan sekitarnya, pada 6 Januari 1874. Perang Aceh kembali meletus. 

Kesengajaan Belanda

Perang Aceh Jilid 2 merupakan perang yang berdarah-darah. Ditambah hadirnya Pasukan Ta’eun yang tampaknya sengaja disebarkan oleh serdadu Belanda untuk melemahkan kekuatan pejuang Aceh. Korban jiwa berjatuhan dimana-mana, baik di pihak Belanda maupun Aceh. 

“Pasca menguasai Masjid Raya, pasukan Belanda merangsek ke Istana Kesultanan Aceh. Celakanya mereka bukan hanya menembakkan peluru tetapi juga menularkan kolera ke kubu Aceh. Kolera segera merebak di dalam Istana yang sedang dipertahankan.” (Mohammad Said: 2007)

Ta’eun Ija Brôk jadi Ta’eun Wabah Sampôh

Orang Aceh awalnya berasumsi kolera hanya menyerang orang miskin saja yang dianggap tertular lewat pakaian kotor yang mereka pakai, sehingga dinamakan Ta’eun Ija Brk. Tapi semakin hari, wabah ini semakin menggila hingga menjangkiti para bangsawan. Akibatnya, muncul nama baru Ta’eun Wabah Samph karena menyerang siapa saja tanpa memandang strata. Setiap hari orang Aceh meninggal akibat ta’eun. Sultan Alauddin Mahmudsyah II pun wafat pada 28 Januari 1874 akibat wabah ini. 

Tolak Bala

Sebagai masyarakat yang beragama dan berbudaya, Orang Aceh percaya bahwa setiap segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak Allah swt. Begitu juga dengan wabah ta’eun, orang Aceh menyerahkannya kepada Allah melalui ritual tolak bala dengan membaca doa “wa qul jaa-al haqqu wa zahaqal baathil. Innal baathila kaana zahuuqa” yang merupakan QS Al-Isra’  ayat 81. Dianjurkan juga membaca Surah al-Kahfi dan Yaasin, serta berdoa adalah upaya penyerahan diri kepada Sang Pencipta agar dilindungi dari bala. 

Selain itu, dulu di depan setiap rumah Aceh tersedia guci, yang fungsinya untuk mencuci tangan, kaki dan lain-lain sebelum naik ke rumah. Ini juga merupakan kearifan lokal yang hari ini termasuk dalam istilah 3M; mencuci tangan, memakai masker, dan jaga jarak. Wabah ta’eun pun hilang dari Aceh pada akhir abad 19.[]

Exit mobile version