Good News From Aceh

Teungku Bantaqiah Ulama Aceh Korban Kekejaman Konflik RI-GAM

teungku bantaqiah

Tulisan ini tidak bertujuan mengungkit luka lama, melainkan untuk mengenang 23 tahun kepergian Teungku Bantaqiah beserta anak dan muridnya dalam tragedi berdarah Beutong Ateuh. Begini kisahnya.  

Mengenal Teungku Bantaqiah

Teungku Bantaqiah lahir pada 20 Agustus 1948 di Desa Ulee Jalan, Keude Sumot, Kecamatan Beutong, Nagan Raya.

Ia merupakan keturunan ulama dari Beutong dan mendedikasikan hidupnya untuk dakwah agama Islam di sekitaran Beutong. 

Untuk menguatkan dakwahnya, Teungku Bantaqiah mendirikan pesantren yang diberi nama Dayah Babul Mukarramah [Babul A’la An-Nurillah, sekarang] pada tahun 1982 di Blang Meurandeh, Beutong Ateuh.

Pesantren yang didirikannya itu berfokus pada pengajian ilmu tauhid dan tasawuf.

Pesantren ini juga mengajarkan “ilmu survival” seperti seni bela diri, tata cara berkebun, dan ilmu spiritual lainnya.

Dicap Pembangkang

Teungku Bantaqiah dan pengikutnya dikenal dengan aksi protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat Aceh, mulai tahun 1987.

Saat melakukan protes, kelompok Tgk Bantaqiah memakai jubah putih dan membawa bendera berwarna merah dan hijau serta di dalamnya bergambar Al-Quran dan pedang bersilang.

Karena itulah, mereka kemudian dikenal Kelompok “Jubah Puteh”. 

Protes menuntut keadilan yang dilancarkan Kelompok Tgk Bantaqiah kemudian dihadang aparat keamanan.

Setelah protes berakhir, Kelompok Jubah Puteh dicap sebagai kelompok pembangkang pemerintah. Bahkan mereka dikucilkan oleh sebagian “masyarakat”.

Menolak Masuk MUI

Teungku Bantaqiah juga menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia [MPU, sekarang] Cabang Aceh. Ia enggan bergabung karena kelompoknya dianggap sesat oleh MUI.

Keputusan ini semakin menambah label pembangkang dan menjadi sasaran fitnah empuk terhadap Kelompok Jubah Puteh. 

Namun pada 29 Agustus 1990 sempat adanya mediasi antara MUI dan Tgk Bantaqiah yang berujung pada permohonan maaf pihak MUI kepada Tgk Bantaqiah.

Sebagai kompensasi damai, pemerintah memberikannya sebuah pesantren, namun Teungku Bantaqiah juga menolaknya. 

Dituduh GAM

Ilustrasi Anggota GAM.

Pada era pemerintahan Soeharto, Tgk Bantaqiah harus menerima kenyataan pahit.

Ia dituduh sebagai Menteri Urusan Pangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1992. Ia pun dipenjara dengan hukuman 20 tahun masa tahanan.

Setelah Soeharto lengser, BJ Habibie menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia. Sang presiden dituntut untuk membebaskan Tgk Bantaqiah. 

Kuasa Allah, Teungku Bantaqiah mendapat amnesti.

Ia menghirup udara bebas dan kembali ke Beutong Ateuh untuk memimpin pesantren yang sudah lama ditinggalkannya.

Tahun 1999 menjadi tahun bangkitnya GAM generasi muda di Aceh. Maka hidup Tgk Bantaqiah saat itu juga tidak baik-baik saja.

Diserbu Pasukan Gabungan

Bangunan pesantren pimpinan Teungku Bantaqiah masih terjaga hingga kini, di depan bangunan ini pembantaian terjadi. Foto: Zulfikar Muhammad untuk Acehkini

Tanggal 22 Juli 1999, 215 orang pasukan gabungan aparat keamanan di bawah pimpinan Letkol. Heronimus Guru dan Letkol Sudjono tiba di Beutong Ateuh.

Misinya untuk menyerbu pesantren Teungku Bantaqiah atas tuduhan memiliki 300 pasukan lengkap dengan senjata api dan berkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Baca juga: Tgk Chik Dirundeng Ulama Pejuang dari Barsela

Pasukan gabungan mengintai aktivitas Teungku Bantaqiah dari seberang sungai.

Jumat pagi 23 Juli 1999, Tgk Bantaqiah memimpin pengajian seperti biasanya di Dayah Babul Mukarramah.

Di sekitar area luar pesantren, pasukan gabungan sudah bersiap-siap mengepung pesantren.

Menjelang waktu Jumatan itu, 215 pasukan berseragam dan bersenjata lengkap memasuki pekarangan pesantren Babul Mukarramah.

Mereka meneriaki Tgk Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka. Tak lama, Tgk Bantaqiah pun datang menemui. 

Diberondong Peluru

Semua santri laki-laki kemudian dipaksa turun dari lantai dua, lalu dikumpulkan di tanah lapang dan diperintahkan berjongkok menghadap sungai Beutong.

Teungku Bantaqiah diminta menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena merasa tidak pernah memiliki senjata yang dimaksud, Tgk Bantaqiah membantah. 

Sebuah antena radio pemancar di atap pesantren ikut dipertanyakan. Komandan pasukan memerintahkan agar antena itu dicopot dengan menyuruh putra Bantaqiah, Usman, menaiki atap pesantren.

Saat Usman berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, ia dipukul dengan popor senapan.

Melihat perlakuan kasar terhadap putranya ini, Tgk Bantaqiah menghampiri dan memeluk putranya. Di saat itulah, terdengar aba-aba menembak.

Teungku Bantaqiah diberondong dengan senjata api hingga tersungkur ke tanah. 

Santri Juga Dihabisi

Pasukan gabungan juga secara membabi-buta memberondong kumpulan santri pria tadi dengan timah panas. Setidaknya 31 (ada yang menyebut 34 orang dan 56 orang) santri syahid seketika.

Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Semuanya berjumlah 23 orang. 

Truk bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah. Dalam perjalanan, para santri diturunkan di beberapa titik.

Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Lalu diberondong peluru hingga tewas.

Setelah melampiaskan “nafsu bejatnya” di Beutong Ateuh, pasukan tersebut tidak juga menemukan apa yang mereka tuduhkan kepada Tgk Bantaqiah. Wallahu ‘a’lam.

[Artikel ini dikutip dari berbagai sumber media terpercaya]

Exit mobile version