Good News From Aceh

Tgk Chik Pante Kulu Pengarang Hikayat Prang Sabi yang Ditakuti Belanda

tgk chik pante kulu

Teungku Chik Pante Kulu lahir pada 1251 Hijriah atau 1836 Masehi di Gampong Pante Kulu, Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie. Nama aslinya Muhammad. Kemudian hari diberikan laqab Teungku Chik Haji Muhammad di Pante Kulu atau populer Tgk Chik Pante Kulu.

Ulama besar Aceh ini sangat erat hubungannya dengan trah keluarga ulama Tiro karena ia juga lahir dari keluarga ulama. Tgk Chik Pante Kulu juga sudah mahir belajar Al-Quran dan ilmu agama sejak kecil. Ia menempuh pendidikannya di Dayah Tiro yang diasuh Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. 

Hingga cerita ini diturunkan, AcehPlus belum menemui sumber yang menyebutkan nasab keturunannya dan tanggal mangkatnya. Adapun makam Tgk Chik Pante Kulu terletak di Gampong Lam Leu’ot, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar.

Makam Tgk Chik Pante Kulu. FOTO: Kumparan.com/Acehkini/Suparta

Belajar ke Mekkah

Hampir sama dengan cerita beberapa ulama besar lainnya yang ada di Aceh, Tgk Chik Pante Kulu mendapat gelar Teungku Rangkang (asisten guru), setelah merasa cukup mahir dengan ilmu yang sudah dipelajarinya di Dayah Tiro.

Ali Hasjmy dalam bukunya Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda (1977) menerangkan, saat itu kemahiran Tgk Chik Pante Kulu berbahasa Arab patut diacungi jempol. Ia juga sudah menamatkan sejumlah kitab di Dayah Tiro. Selanjutnya ia memutuskan belajar ke Mekkah sembari menunaikan ibadah haji. 

Tgk Chik Pante Kulu belajar di Mekkah 4 tahun sehingga mendapat gelar Syekh atau Teungku Chik. Ia masih di Arab saat Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1873.

Mendengar kabar itu, Tgk Chik Pante Kulu pulang membela tanah airnya. Terlebih sahabatnya Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman sudah terjun ke medan perang sebagai Panglima Perang Kesultanan Aceh Darussalam. 

Mengarang Hikayat di Kapal

Perjalanan Tgk Chik Pante Kulu pulang ke Aceh dimulai pada tahun 1881 melalui pelayaran laut dari Jeddah menuju Penang, Malaysia. Dalam perjalanannya itu, Tgk Chik Pante Kulu mengarang Hikayat Prang Sabi untuk membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Belanda.

Ia menukilkan Hikayat Prang Sabi setelah terinspirasi syair-syair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kaum muslimin pada zaman Rasulullah. Kisah (fiktif berdasarkan realita sejarah) dalam hikayat Prang Sabi ini terdiri atas empat babak cerita yaitu Kisah Ainul Mardhiah, Pasukan Gajah, Sa’id Salmy, dan Muhammad Amin (kisah budak mati hidup kembali). 

Setibanya di Penang, Tgk Chik Pante Kulu ganti kapal berlayar ke Aceh. Menginjak tanah Aceh, ia langsung menemui gurunya Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut untuk dipertemukan dengan Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman dalam medan perang di Meureu, Indrapuri, Aceh Besar.

Ia pun menyerahkan karangannya kepada Tgk Chik di Tiro dalam sebuah acara upacara kehormatan di Kuta Aneuk Galong, Aceh Besar.

Efek Hikayat Prang Sabi

Dalam bukunya Teungku Tjhik di Tiro Hidup dan Perjuangannya, Ismail Jakub menyebutkan efek dari Hikayat Prang Sabi ini sangat besar bagi masyarakat yang mendengarnya.

Saat itu, Tgk Chik Pante Kulu membacakan hikayat ini setelah Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman berceramah mengobarkan semangat jihad. Setelah hikayat ini disenandungkan hanya ada satu respon dari masyarakat Aceh yaitu jihad fi sabilillah alias Prang Sabi melawan kaphe Belanda.

Rakyat Aceh sangat terhibur dan secara spontan ingin langsung menyerang pasukan Belanda yang sudah menyerbu Aceh kala itu.

Puisi Berbahaya di Dunia

Ali Hasjmy menilai Hikayat Prang Sabi karya Tgk Chik Pante Kulu berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia.

Menurutnya, pengaruh syair dalam Hikayat Prang Sabi sama dahsyatnya dengan pengaruh syair-syair perang yang ditulis Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad umat Islam di zaman Rasulullah.

Ia menambahkan, karya sastra Tgk Chik Pante Kulu itu dapat disamakan dengan Illias dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era” Yunani sekitar tahun 700-900 Sebelum Masehi.

Kehebatan Hikayat Prang Sabi juga diakui penulis Belanda, HC Zentgraaff. Karya Tgk Chik Pante Kulu disebutnya menjadi momok paling menakutkan bagi Belanda. Sampai-sampai pihak Belanda mengeluarkan ultimatum, siapa saja yang diketahui menyimpan dan membaca syair itu akan dihukum.  

“Belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali Hikayat Perang Sabil karya Pante Kulu dari Aceh. Kalaupun ada karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa Revolusi Perancis dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh Hikayat Perang Sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu.” HC Zentgraaff

 

“Ada tiga faktor keberhasilan Hikayat Prang Sabi dalam melawan penjajah yaitu segi seni-bahasa atau kesusastraan, segi pendidikan dan segi dakwah. Hikayat Prang Sabi ini, Belanda pun melihatnya sebagai senjata yang sangat berbahaya karena sanggup membangkitkan semangat perang untuk melawan Belanda.”  A. Hasjmy

 

Exit mobile version