Ini cerita belajar dari pengalaman masa lalu yang terbukti berhasil menjadi pelajaran di masa depan. Warga #Simeulue kini dikenal memiliki syair smong sebagai early warning system dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami.
Minggu 26 Desember 2004. Gempa hebat sekuat 9,3 skala richter mengguncang Aceh pada pukul 07.59 WIB. Getaran ini berasal dari utara Pulau Simeulue dan dirasakan di seluruh belahan bumi.
Tak berapa lama, masyarakat Aceh yang sedang berada di pantai, melihat air laut surut. Ikan-ikan menggelepar.
Sebagian warga tak mau menyia-nyiakannya. Mereka berlarian untuk memungut ikan segar. Pajan chit löm na eungkôt pré.
Di Simeulue, warga yang melihat air surut setelah gempa kuat, langsung teringat dengan pesan dalam sebuah syair ini.
Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli
jika gempanya kuat, disusul air yang surut
Maheya mihiwali fano me singa tenggi
segeralah cari tempat yang lebih tinggi
Ede smong kahane
itulah Smong namanya.
Memori Seabad Silam
Warga Simeulue yang sudah “terlatih memorinya” dengan syair itu langsung balik kanan. Memberi tahu ke warga lainnya: Waktunya telah tiba! Maka, dalam hitungan menit tersedia, seluruh warga Simeulue lari ke perbukitan.
Ya, itulah tanda-tanda smong akan menerjang, seperti yang pernah pendahulu mereka alami pada tahun 1907.
Gelombang laut setinggi hampir 40 meter itu melaju seperti pesawat tempur. Menyapu seluruh pesisir, pemukiman, hingga perkotaan. Nyaris tak ada yang selamat dari amukan tsunami pagi itu.
Sedikit Korban Jiwa
Menurut data Bank Dunia, jumlah korban jiwa di Aceh mencapai 167.000 orang, setidaknya 500.000 orang kehilangan tempat tinggal. Total, dari 14 negara yang terkena dampak tsunami, jumlah korban mencapai 230.000 jiwa.
Dari Simeulue dilaporkan, hanya 7 orang –ada menyebut 6 orang–dari populasi sekitar 70 ribuan orang (estimasi saat itu), meninggal dunia akibat terhalang reruntuhan bangunan saat melarikan diri.
Ajaib atau memang takdir Allah. Daerah Simeulue yang sebenarnya jadi pusat gempa 26 Desember 2004 justru mendapatkan sedikit korban jiwa.
Sementara di Meulaboh, Calang, dan Banda Aceh, dan daerah lainnya, ribuan nyawa melayang. Ternyata, warga Simeulue betul-betul melakukan apa yang mereka pelajari dalam syair smong. Smong berasal dari bahasa Devayan, salah satu bahasa lokal di Simeulue. Artinya, hempasan gelombang.
Baca Juga : 8 Tokoh Dunia yang Bantu Tsunami Aceh 2004
Belajar dari Masa Lalu
Bencana yang diawali gempa 7,6 SR itu memakan banyak korban jiwa–jumlahnya diperkirakan setengah populasi Simeulue saat itu. Bangunan rata dengan tanah, begitupun harta benda dan sanak saudara, lenyap.
Para penyintas memetik hikmah. Pengalaman yang mereka lihat dan rasakan saat adanya gempa disusul air laut ganas yang mereka namai smong itu diwariskan ke generasi penerus melalui seni & budaya tutur.
Kejadian smong disampaikan orang tua kepada anak-anak dengan beberapa cara. Saat makan, misalnya. Di ruang keluarga. Di sela-sela kerja.
Cerita itu terus berulang. Bahkan setelah tsunami 2004, riwayat smong disampaikan lewat sejumlah kesenian.
Cerita dalam Nafi-nafi
Berdasarkan hasil penelitian Alfi Rahman dkk. yang terbit di Elsevier International Journal of Disaster Risk Reduction (2018), kisah Smong tersimpan dalam salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut Nafi-nafi. Yakni salah satu budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita (story telling) yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu.
Nafi-nafi mengandung pembelajaran untuk disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak pada waktu-waktu tertentu seperti setelah memanen cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas salat Magrib dan membaca Al-Quran.
Kisah dalam Nafi-nafi sangat bervariasi, salah satunya kejadian smong tahun 1907. Dalam Nafi-nafi, disampaikan pula apa yang harus mereka lakukan jika terjadi tanda-tanda datangnya smong.
Lewat Seni Nandong
Tak hanya itu. Setelah tsunami 2004 mengejutkan dunia, masyarakat Simeulue makin menjadikan kisah smong sebagai bagian dari mitigasi bencana.
Penguatan smong dilakukan melalui saluran kesenian tradisional masyarakat Simeulue lainnya yaitu nandong.
Nandong adalah seni tradisional masyarakat Kepulauan Simeulue berupa nyanyian lewat syair dan alat musik.
Seni tutur nandong dimainkan menggunakan alat musik kendang (gendang) dan biola. Dapat dimainkan oleh sekurang-kurangnya dua orang, yaitu penabuh kedang dan pemain biola merangkap sebagai pembawa syair.
Idealnya nandong dimainkan oleh 3-5 orang atau lebih. Pun begitu, nandong dapat dibawakan oleh seorang saja tanpa alat musik, misalnya ketika sedang mendayung perahu atau memancing, bekerja di sawah atau ketika sedang memetik cengkeh jika tiba musimnya. Seni ini diwariskan turun-temurun.
Petikan Syair Smong
Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).
Demikianlah ceritanya.[]