Salah satu mega proyek Belanda di Aceh adalah membangun infrastruktur jalan yaitu Jalan Gayo. Proyek yang menelan biaya besar ini selesai dibangun hampir satu dekade lebih. Yuk kita baca sejarahnya sampai tuntas.
Table of Contents
Mengenal Jalan Gayo
Jalan Gayo hari ini lebih dikenal dengan sebutan Jalan Bireuen – Takengon, karena jalan ini menjadi salah satu akses menuju Dataran Tinggi Gayo.
Akses Jalan Gayo awalnya dibuka oleh Hindia Belanda pada tahun 1902.
Jalan ini juga dikenal dengan nama Jalan Takbir.
Dengan adanya jalan tersebut, Belanda dapat lebih mudah mengambil hasil alam dan mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh dan Gayo.
Dan hari ini kita bisa menikmati indahnya perjalanan melintasi jalan keuneubah Beulanda nyan–mungkin ini salah satu warisan Belanda paling berguna di Aceh!
Mega Proyek Belanda
Pembukaan akses jalan dari Bireuen menuju Takengon merupakan mega proyek Belanda di Aceh.
Saat itu Dataran Tinggi Gayo merupakan daerah yang masih belum terjamah sehingga membuat Belanda tertarik untuk mengekspansi Tanoh Gayo.
Maka dibuatlah jalan kesana agar dapat mempercepat akses menuju Gayo.
Sebelumnya, akses ke Dataran Tinggi Gayo harus dilalui dari Lokop Serbejadi menuju Peureulak dan Tamiang.
Karena alasan itulah Belanda mulai membuka Jalan Gayo dari tahun 1902 dan selesai dibangun pada tahun 1914.
Pada awalnya seluruh proses pembangunan Jalan Gayo itu menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul, sekop, pahat, pangki dan lainnya.
Baca juga: Taman Nasional Gunung Leuser; Dari Aceh untuk Dunia
Pekerja “membantu” Belanda hingga pada tahap memahat batu-batu cadas seinci demi seinci sampai rata dengan jalan.
Memakan Banyak Korban
Hampir di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda, pembukaan jalur transportasi selalu menelan korban jiwa, terutama penduduk lokal.
Begitupun dalam pembangunan Jalan Gayo. Orang Aceh yang awalnya kerja paksa, lalu setelah lama-kelamaan menanggung penderitaan, banyak dari mereka memberontak.
Para pekerja mengangkat senjata untuk melawan Belanda, bahkan ikut menghalang-halangi pengerjaan Jalan Gayo tersebut.
Salah satu perlawanan kaum buruh Aceh asal Gayo terhadap Belanda ditunjukkan oleh Reje Puteh. Ia bahkan membentuk pasukannya sendiri.
Pasukan Reje Puteh kemudian menjadi momok terbesar Belanda saat itu hingga dikejar sampai ke Pegasing, Aceh Tengah. Dalam beberapa pertempuran, banyak juga jatuh korban dari kedua belah pihak.
Proyek Yang Berhasil
Proyek pembangunan Jalan Gayo menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah per kilometernya.
Menurut catatan, dalam setiap kilometer, Belanda menggelontorkan uang sekitar 20 ribu Gulden. Sedangkan biaya perawatannya sekitar 500 Gulden/km.
Baca juga: Leughok Kudapan Pejuang Aceh Saat Perang
Namun terlepas dari penderitaan para pekerja, setelah pembukaan jalan ini pada tahun 1914, roda ekonomi di Dataran Tinggi Gayo pun mulai diputar.
Ekonomi Bertumbuh
Belanda kemudian mendatangkan para pekerja dari luar Gayo secara bertahap. Industri didirikan. Sarana transportasi berubah dari tenaga manusia ke kereta kuda. Terakhir, mobil mulai digunakan untuk datang ke Gayo.
Belanda juga memacu sektor pertanian dan pariwisata di Dataran Tinggi Gayo.
Danau Lut Tawar di Takengon merupakan destinasi wisata andalan sejak lebih dari 100 tahun lalu, yang kini masih terus menebar pesonanya.[]
Sumber Bacaan:
https://lintasgayo.co/2019/08/17/mega-proyek-belanda-buka-jalan-gayo-bireuen-takengon-di-tahun-1902-ribuan-nyawa-dikorbankan/