Good News From Aceh
SejarahInspirasiMemori

Ratu Safiatuddin Menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam Kerajaan Ramah Gender Di Nusantara

Ratu Safiatuddin

Bagi masyarakat Aceh, persamaan gender bukanlah hal yang baru. Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh 4 sultanah (ratu) yang dimulai pada masa Ratu Safiatuddin. Penasaran dengan sejarahnya? Yuk simak cerita berikut.

Sultanah Pertama

Ratu Safiatuddin

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki suatu periode kepemimpinan perempuan (sultanah) yang dimulai pada tahun 1641 M.

Raja perempuan pertama bernama Sultanah Ratu Safiatuddin. Ia merupakan anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang lahir dengan nama Putri Sri Alam pada 1612.

Sepeninggal Iskandar Muda, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Tsani yang tak lain adalah menantunya sendiri. 

Pasca mangkatnya Iskandar Tsani, Kesultanan Aceh Darussalam mulai goyah karena suhu politik yang tidak menentu.

Kondisi inilah yang kemudian menempatkan Putri Sri Alam sebagai sultanah pertama Kesultanan Aceh Darussalam.

Memerintah 34 Tahun

Ratu Safiatuddin

Ketika naik tahta, Putri Sri Alam memakai gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah kerajaan Aceh, tampuk pimpinan dipegang wanita. Hebatnya, Ratu Safiatuddin memerintah selama 34 tahun mulai dari tahun 1641-1675 M

Dalam perjalanan kepemimpinannya, Sultanah Ratu Safiatuddin mendapatkan banyak keberhasilan dan tantangan.

Ia mampu mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain.

Juga berhasil membuat Aceh Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan.

Baca juga: 21 Wasiat Sultan Aceh untuk Generasi Bangsa Aceh

Bentuk dukungannya seperti mendirikan perpustakaan, mendukung sastrawan dan kaum intelektual mengembangkan bakatnya.

Pada masa Ratu Safiatuddin lah lahir para cendekiawan seperti Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Ranirry, dan Syeh Abdur Rauf.

Melewati Masa Sulit

Ratu Safiatuddin

Menjadi pemimpin perempuan apalagi untuk sebuah kerajaan yang sangat besar tentunya punya tantangan tersendiri. Begitupun dengan Sultanah Ratu Safiatuddin.

Ia juga mendapatkan pro-kontra mengacu kepada hukum agama. Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik tahtanya Ratu Safiatuddin.

Akibatnya, terjadi beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinannya. 

Situasi bertambah pelik karena Sultanah Ratu Safiatuddin juga harus menghadapi ancaman dari luar seiring mulai menguatnya pengaruh VOC dari Belanda.

Terutama setelah Kerajaan Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal 1641. Namun, sang ratu mampu melewati masa-masa sulit itu.

Berhasil Melahirkan Suksesor

Ratu Safiatuddin

Pada tahun 1675 M, Sultanah Ratu Safiatuddin mangkat. Tampuk pimpinan diteruskan oleh Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam.

Sultanah Naqi al-Din Nur al-Alam hanya memerintah 3 tahun yaitu dari tahun 1675 – 1678 M. Lalu tongkat estafet pimpinan diteruskan oleh Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah. Ia memerintah 10 tahun dari tahun 1678-1688 m. 

Pasca Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah mangkat, kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din.

Baca juga: Meriahnya Idul Adha di Era Kesultanan Aceh Darussalam

Sultanah ke-4 merupakan sultanah terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Ia memerintah 11 tahun dari 1688-1699.

Meskipun tidak sehebat Sultanah Safiatuddin, suksesornya ini berhasil menunjukkan emansipasi wanita dalam kerajaan Aceh itu nyata adanya.

Tidak lupa juga, seluruh proses kepemimpinan tetap berdasarkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam.

Persamaan gender di Aceh
bukan hanya wacana.

Di saat yang lain masih menerka-nerka,
Aceh sudah duluan menjalankannya.

 

Sumber Rujukan:

https://tirto.id/ketika-serambi-mekkah-diperintah-para-sultanah-cqkW
Sher Banu A. Latif Khan, Rule Behind The Silk Curtain: The Sultanahs Of Aceh 1641-1699, Unpublished Doctoral Thesis, Queen Mary, University of London, 2009

 

Related posts