Sayyid Habib Abdurrahman al-Zahir (1832-1896) terkenal sebagai seorang diplomat ulung Kerajaan Aceh Darussalam. Ia berasal dari Hadramaut, melalang buana ke berbagai penjuru dunia, sebelum akhirnya berlabuh di Aceh pada 1864. Dia memiliki “tiket” berupa penghargaan dari Maharaja Johor atas prestasinya di Johor untuk membuatnya diterima Kerajaan Aceh Darussalam.
Benar saja, Raja Aceh berkuasa saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, tertarik dengan kemampuan dan pengalaman Habib Abdurrahman, sehingga ia ditunjuk sebagai Kepala Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya itu, Habib kemudian dipercayakan sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Mangkubumi Kerajaan menjelang meletusnya Perang Aceh.
Diplomasi ke Istanbul
Kondisi Kerajaan Aceh Darussalam tengah tidak menentu saat kedatangan Habib, seperti adanya konflik internal dan ancaman dari kolonial Belanda. Manakala Sultan mendapat sinyal akan ada penyerangan dari Belanda, Habib diberi kuasa untuk mencari dukungan di Arab dan Eropa.
Habib Abdurrahman tiba di Mekkah pada April 1873. Misinya untuk memperbarui hubungan lama antara Aceh dan Turki. Di Aceh, Belanda sudah menabuh genderang perang. Abdurrahman pun bergegas ke Istanbul dan tiba pada 27 April. Namun kondisi Kesultanan Turki Utsmani saat kedatangannya malah di ujung tanduk, alias lebih buruk, sehingga sangat sulit mendapat bantuan. Tak lama, ia kembali ke Aceh dengan tangan kosong.
Memimpin Perang Aceh
Perang Aceh sedang berkecamuk saat Habib Abdurrahman tiba di Kutaraja. Ia ikut berjuang dan diangkat sebagai panglima perang di wilayah Aceh Besar bersama panglima lain seperti Tgk Chik di Tiro. Pasukan pejuang Aceh yang dikomandoi dua panglima ini sangat ditakuti Belanda kala itu. Sehingga, Belanda berniat menundukkan Habib dan mengeluarkannya dari Aceh.
Puncaknya ketika Seuneulhob wilayah komando Habib berhasil ditaklukkan pasukan Belanda pimpinan Van der Heijden alias Jenderal Buta Mata Siblah, Habib dituding sebagai biang kekalahan. Habib pun merasa harga dirinya telah jatuh. Tak tahan lagi, ia menyerah ke Belanda dengan syarat.
Menyerah ke Belanda
Sayyid Habib Abdurrahman bersama Teuku Muda Baet menyerah di Kutaraja pada tanggal 13 Oktober 1878. Sebagai imbalan, Belanda bersedia mengungsikan Habib dan pengikutnya ke Jeddah dan memberinya uang pensiun $1.000 per bulan dengan syarat ia harus tetap tinggal di Arab. Abdurrahman pun menetap di Tanah Suci sampai ajalnya menjemput tahun 1896.
REFERENSI:
- Reid, Antony (2005). Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Göksoy, Ismail Hakki (2007). Ottoman-Aceh Relations According to the Turkish Sources, ICAIOS
- https://baranom.wordpress.com/2015/05/05/sayyid-habib-abdurrahman-al-zahir-kunci-kolonial-belanda-masuk-ke-aceh/
- https://aceh.tribunnews.com/2017/05/14/habib-abdurrahman-al-zahir-diplomat-ulung-kepala-masjid-raya-baiturrahman?page=all