Good News From Aceh
SejarahMemoriSosial

Atjeh Tram, Kereta Api Pertama Penghubung Aceh – Sumatera

atjeh tram

Mungkin, salah satu nikmat yang orang Aceh rasakan pada masa kolonial Belanda adalah bisa menaiki kereta api Atjeh Tram ?”tut tut tut…” seperti yang dialami orang-orang dalam cerita ini.

Mereka merasakan perjalanan menakjubkan saat melintasi rute Padang Tiji ke Kutaraja. Yuk simak kisah mereka sampai slide terakhir.

Sejarah Atjeh Tram

atjeh tram

Setahun usai menyatakan perang dengan Aceh, pada 1874, Belanda mulai membangun rel kereta api dari Pelabuhan Ulee Lheue ke pusat kota Kutaraja (Banda Aceh).

Perlahan jalur kereta api dibangun di berbagai wilayah untuk menghubungkan seluruh Aceh. Tujuannya awalnya adalah untuk memudahkan mobilisasi militer. 

Tahun 1876, jalur kereta api Aceh-Sumatera ini pertama kali beroperasi  untuk mobilisasi militer Belanda, dengan rute Koetaradja-Ulee Lheue. 

Menyusul dibukanya jalur Indrapuri-Lambaro pada 1882 dan rute Koetaradja-Lamnyong empat tahun kemudian.

Atjeh Tram baru difungsikan untuk transportasi umum sejak tahun 1898 setelah dibangunnya jalur Koetaradja-Seulimum dan  rute Seulimum-Sigli-Lhokseumawe tahun tahun 1900.

Perusahaan ini berganti nama setelah tahun 1916 menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS).

Kenangan Manis

ilustrasi atjeh tram
foto: safariku.com/Jhon Illusion

Beberapa orang Aceh menyimpan kenangan manis pengalaman mereka naik kereta api Atjeh Tram (baca: aceh trem). 

Sri Maywati, warga Gampong Pasar Paloh, Kec. Padang Tiji, Pidie, salah satu saksi hidup yang merasakan pengalaman naik Atjeh Tram.

Sewaktu kecil, ia sering mengikuti ibunya kuliah ke Banda Aceh, menumpangi kereta api dari Padang Tiji ke Kutaraja. 

Stasiun Padang Tiji termasuk dalam proyek Atjeh Tram rute Seulimum – Sigli – Lhokseumawe yang rampung dibangun tahun 1900. Stasiun Padang Tiji berada di tengah-tengah tanah lapang.

Stasiun Padang Tiji berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Para penumpang sembari menanti kereta api bisa memandang panorama sepasang Gunung Seulawah, Agam dan Inong, di utara sana, yang menyembul di atas garis datar bukit barisan. Hal ini seperti diakui Sri Maywati. 

Meeting Point Padang Tiji

atjeh tram

Ada tiga jalur kereta api di Kota Sigli, Pidie, yaitu jalur kereta biasa untuk rute Sigli – Lam Meulo (Kota Bakti) dan rute Sigli – Padang Tiji serta jalur kereta cepat untuk rute Sigli – Kutaraja.

Bagi warga Pidie dan daerah lainnya yang hendak ke Kutaraja, mereka haruslah terlebih dahulu berkumpul di Stasiun Padang Tiji. 

“Kalau tunggu kereta api di sini (Pasar Paloh), di Gogo sana sudah terdengar bunyi klakson dari lokomotif.

Demikian kata Sri, seperti dikutip safariku.com (03/12/2015). Ia menyebut, Stasiun Gogo terpaut beberapa km dari Stasiun Padang Tiji. “Bunyinya lama.”

Ganti Lokomotif

atjeh tram

Di Padang Tiji, kereta api mengganti lokomotif yang lebih besar sebelum menempuh perjalanan panjang ke Kutaraja.

Kereta api dari Padang Tiji, kata Yusuf warga Gampong Paloh Drien, Padang Tiji, membawa empat gerbong penumpang, satu gerobak ternak, dan satu gerobak barang dan sayuran, seperti dikutip sinarpidie.co (27/03/2021). Berangkat setiap hari jam 8 pagi. 

Baca juga: Jalan Gayo; Warisan Belanda di Aceh yang Berguna Hinggi Kini

Penumpang akan dimanjakan keindahan panorama alam berupa lembah, perbukitan, pegunungan Seulawah, kawanan satwa, dan Kruëng Peuët Plôh Peuët–sungai besar dengan 44 alur yang memutar bagai jalannya ular.

Kereta api juga melewati beberapa jembatan baja untuk melintasi Kruëng Peuët Plôh Peuët.

Penumpang Menyeberang Sungai

atjeh tram
Ilustrasi Atjeh Tram melintasi jembatan baja. Foto: safariku.com/Jhon Illusion

Sepanjang usia Sri antara enam sampai delapan tahun, ia sering dibawa ibunya yang kuliah ke Banda Aceh.

Setiap akan ke Koetaradja, ibunya menyiapkan bu kulah—nasi dibungkus daun pisang terlayur sehingga menuai aroma daun yang memicu selera makan—untuk disantap saat makan siang tiba.

Penumpang di dalam gerbong duduk di bangku saling berhadapan. Menyisakan space (ruang kosong) di tengah-tengahnya untuk lalu-lalang peminta-minta atau penjaja makanan.

“Berangkat pagi dari Stasiun Padang Tiji, tiba di Lamtamot siang hari, penumpang turun menyeberangi sungai,” kisahnya.


Para penumpang tak berani naik gerbong yang hitam kelam oleh asap kayu bakar untuk menghasilkan tenaga uap itu, saat melintasi jembatan di atas Krueng Peuet Ploh Peuet—satu sungai yang memiliki 44 alur—yang lebar.

Hanya dua masinis yang berdiri di kiri-kanan mesin lokomotif dan beberapa penumpang yang berani saja, mau melalui jembatan itu hingga sampai ke stasiun.

Setelah penumpang kembali masuk gerbong di Stasiun Lamtamot, perjalanan Sigli-Koetaradja mengambil istirahat agak lama di pemberhentian selanjutnya, Stasiun Seulimum. Tepat tengah hari.

Sekitaran stasiun. Sebuah sungai mengalir di bawah sana. Rest area yang dipenuhi warung makan menyambut penumpang yang kelaparan usai tempuhi perjalanan panjang melintasi lekuk-lekuk pegunungan Seulawah.

Usai beberapa jam istirahat, trip dilanjutkan sampai ke Stasiun Indrapuri. Lalu Stasiun Lambaro, penumpang akan dicek karcis untuk terakhir, sebelum berhenti di Stasiun Kutaraja dekat Masjid Raya Baiturrahman.

Tarif Karcis dan Dagangan

atjeh tram

Beberapa saksi sejarah Atjeh Tram di Pidie lainnya juga punya memori soal transaksi jual-beli barang dan jasa di kereta api.

Aisyah, 73 tahun (pada 2015), warga Padang Tiji lainnya yang sering naik Atjeh Tram mengatakan, warga menggunakan mata uang koin sen dan rupiah.

Baca juga: 5 Alasan Aceh Disebut Daerah Modal

Aisyah menyebutkan waktu itu nominal uangnya disebut Sigeutep setara 10 sen, Sitali 25 sen, Sisuku 50 sen, dan Sirupia sama dengan 100 sen.

Menurutnya, seperti dikutip safariku.com, tarif dari Sigli – Kutaraja tak lebih dari Sirupia atau Rp 100 ribu untuk masa kini.

Tamat Riwayat 

atjeh tram

Aceh Tramp terakhir beroperasi pada tahun 1942 karena Perang Dunia II. Jepang masuk mengambil alih sebentar.

Setelah Indonesia Merdeka, aset Atjeh Staatsspoorwegen dinasionalisasikan. Awalnya dikelola oleh Djawatan Kereta Api (DKA) namun masih menggunakan lokomotif Atjeh Tramp.

Baca juga: Kisah Lhokseumawe Eks Kota Petro Dollar

Essi Hermaliza dalam Atjeh Tram Kereta Api di Aceh, menyebutkan, sejak tahun 1982, kereta api di Aceh resmi berhenti beroperasi karena terus merugi.

Kepingan sejarah Atjeh Tram di Pidie saat ini dapat dilihat di kawasan Pasar Padang Tiji. 

Namun nyaris semua bangunan bengkel dan fasilitas stasiun kereta api di sana sudah berubah jadi kios-kios dan rumah warga. Bekas lintasan sudah tertimbun dan relnya tidak terlihat lagi.[]

 

Related posts