Rupanya perayaan Idhul Adha di Aceh sudah meriah sejak masa kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu. Ini terbukti dengan dikurbankannya 500 ekor kerbau oleh sang sultan. Penasaran kan sejarahnya? Yuk kita simak ulasan Meriahnya Idul Adha Era Kesultanan Aceh Darussalam berikut.
Table of Contents
Dimulai Masa Iskandar Muda
Dulu tak salah kita mendapat lakab #AcehBangsaTeuleubeh ateuëh ruëng dônya. Keunggulan bangsa Aceh ini pun mendapat perhatian warga dunia.
Cara orang Aceh merayakan Hari Raya Idul Adha misalnya, menjadi atraksi menarik bagi bangsa asing. Hal ini dicatat oleh sejumlah penjelajah dunia saat mereka mengunjungi Negeri Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Thani (1636-1641).
Kerajaan Aceh Darussalam memang mencatatkan tintas emas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam awal abad ke-17.
Sebagai pemegang kekuasaan, Sultan Iskandar Muda membuat konstitusi tertulis yang dikemas dalam qanun Adat Meukuta Alam.
Adat ini salah satunya mengatur tata cara merayakan Hari Besar Islam, termasuk mengatur tatacara merayakan Idul Adha Era Kesultanan–mengenai Adat Meukuta Alam baca lengkapnya di bagian akhir.
Hari Raya di Semenanjung Aceh
M Adli Abdullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dalam sebuah artikelnya menerangkan, dalam satu buku Adat Meukuta Alam dinyatakan bahwa setiap 10 Zulhijjah, seluruh penghuni Negeri Kerajaan Aceh, yang saat itu meliputi Pulau Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu seperti Kedah, Pahang, Perak, Johor, diwajibkan untuk memeriahkan perayaan Idul Adha dan melaksanakan ibadah kurban.
Selebrasi ini diawali dengan berpuasa pada awal bulan Zulhijjah, kemudian shalat Idul Adha, lalu dilanjutkan ibadah kurban.
Pada masa Idul Adha Era Kesultanan, saat Hari Raya tiba di Bandar Aceh Darussalam, pembesar istana dan rakyat diharuskan mengenakan pakaian yang indah-indah dari segala pakaian yang suci, bercampur sutera dan perak; beberapa mereka memakai selendang kebiru-biruan dan menyemat rencong di pinggang.
Sultan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang pemimpin negeri, dalam menyambut Idul Adha selalu larut dalam takbir dan zikir.
Kurban di Masjid Raya
Usai melaksanakan Idul Adha di Masjid Raya Baiturrahman, Sultan Iskandar Muda bersama mufti kerajaan Aceh Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani dan pembesar utama kerajaan Aceh lainnya menuju halaman masjid dan menghampiri lokasi hewan kurban.
Sultan kemudian meraih pisau yang berhulu manikam merah dan bertatahkan emas permata, langsung menyembelih kurban pertama yang diiringi takbir.
Seorang fakih (ulama) berdiri di hadapan hewan kurban yang disembelih itu untuk memastikan pemotongan urat leher kurban sesuai dengan syarak.
Tatkala urat leher sudah putus, seketika itulah berbunyi gong, gendang, nafiri dan serune dengan suara yang merdu beriringan dengan penyembelihan hewan kurban berikutnya.
Adat Meukuta Alam juga mencatat, dalam melaksanakan shalat Idul Adha dan kurban, Sultan Iskandar Muda selalu didampingi mufti kerajaan–tanda bahwa hubungan cendekiawan dengan birokrat selalu harmonis dalam menjalankan pemerintahan.
Mengikuti Sultan Turki
Gambaran Hari Raya Idul Adha Era Kesultanan di ibu kota Negeri Aceh, Bandar Aceh Darussalam, juga dicatat pengembara Eropa, Peter Mundy, dalam bukunya The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia 1608-67.
Ia sempat mengunjungi Aceh pada tahun 1637. Dalam bukunya menjelaskan, ketika berada di Aceh, Mundy ikut menyaksikan perayaan Idul Adha di lingkungan Kerajaan Aceh Darussalam.
Menurut Mundy, para penghulu payung (staf protokol istana) memerintahkan pemasangan payung mulai dari Istana Darud Donya hingga ke Masjid Raya Baiturrahman, tempat Sultan akan menunaikan shalat ied.
Pemasangan payung di kiri-kanan jalan ini, menurut Peter Mundy, sebagai simbol kebesaran Sultan Aceh meniru apa yang dipraktikkan Sultan Sulaiman al Qanuni di Istanbul, Turki.
Masa Iskandar Thani
Peter Mundy pada 26 April 1637 itu, menyaksikan shalat Idul Adha dan prosesi kurban yang dilaksanakan Sultan Iskandar Thani (1636-1641).
Hari itu Iskandar Thani juga menyembelih 500 ekor kerbau. Sultan memerintahkan penghulu keurukon (sekretaris negara), segala syahbandar (kepala pelabuhan) dan wazir (menteri) untuk memandikan hewan kurban.
Hewan-hewan kurban itu dimandikan dengan air bunga mawar, menggosok gigi kerbau dan meminyaki dengan wewangian serta menyisir bulunya, memberi celak pada kedua matanya, baru kemudian menutup mata dengan kain putih.
Sultan kemudian menyembelih kerbau pertama, disusul sang fakih, berikut petinggi kerajaan lainnya.
Mundy juga mencatat, sebelum mencapai Masjid Raya Baiturrahman pada pagi Idul Adha, Sultan bergerak dari Istana Darud Donya menunggangi gajah yang dihias mewah. Ia dikawal rombongannya yang sebagian naik gajah dan sisanya jalan kaki.
Hal sama dilakukan usai ibadah kurban saat kembali ke istana. Arak-arakan ini sekaligus menjadi hiburan warga kota yang sangat ingin melihat keagungan sang pemimpin mereka.
Adat Meukuta Alam
Menurut M Adli Abdullah dalam sumber artikelnya, Adat Meukuta Alam adalah nama yang diberikan para sarjana di kemudian hari untuk naskah asli yang tertulis Wa sammaituha Ma Bain-as-Salatin (maka kami namai akan dia Perintah Segala Raja-raja).
Penamaan Adat Meukuta Alam dikarenakan konstitusi ini digagas oleh Meukuta Alam, nama lain Sultan Iskandar Muda.
Adat Meukuta Alam berisi 180 halaman yang ditulis dengan huruf Jawi (Jawoe). Isinya terdiri atas empat buku: Pertama, Perintah Segala Raja-raja. Kedua, Silsilah Raja-raja; Ketiga, Adat Majlis Raja-raja, dan Keempat, Dastur Adat Hasil Negeri dan Segala Kapal Niaga.
Dalam buku ketiga Adat Meukuta Alam inilah, turut mengatur tata cara hari-hari besar Islam, seperti hari Jumat, pelaksanaan ibadah puasa, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Masyarakat Aceh sekarang lebih mengenal istilah “Adat bak Po Teumeureuhom” daripada menyebut Adat Meukuta Alam. Po Teumeureuhom adalah lakab yang diberikan kepada Sultan Iskandar Muda setelah beliau wafat.[]